BUNGLON
Manusia
yang bertekad mengadu nasibnya di ibukota kuno dunia ini (Roma) harus menjadi
seperti bunglon yang mampu melambangkan warna-warni suasana sekelilingnya –
seperti Proteus yang bisa mengubah bentuknya menjadi apapun. Ia harus liat,
fleksibel, licin, teliti, tak terduga, seringkali tidak terhormat, kadang
tulus, kadang berkhianat, selalu menyembunyikan sebagin pengetahuannya, hanya
menggunakan satu nda suara saja, sabar, tuan yang sempurna untuk mengendalikan
air mukanya sendiri, sedingin es ketika manusia lain berapi-api; dan jika
sayangnya dia tidak berjiwa religius- kejadian yang amat lazim terjadi bagi
seseorang yang memiliki syarat-syarat semacam itu- ia pasti berpikiran
religius, artinya mimik wajahnya, kata-katanya dan tindak tanduknya tampak
religius; ia harus menderita secara diam-diam, jika ia adalah seorang manusia
yang jujur, karna kebutuhan mengenal dirinya sendiri merupakan kemunafikan
ekstrim. Manusia yang jiwanya membenci kehidupan semacam itu sebaiknya
meninggalkan Roma dan mengadu nasibnya di tempat lain. Aku tak tahu apakah aku
sedang memuji diriku sendiri atau mencari alasan bagi diriku sendiri, tetapi
diantara semua kualitas itu, aku hanya memiliki satu yaitu fleksibilitas (By :
CASANOVA at Rome Italy)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar